Joki
Tugas Menurut Para Muda-Mudi
WIDIATANTI
22041184132
Di dunia super sibuk dengan segala
aktifitas manusia di dalamnya, dibutuhkan sosok pembantu entah hadir secara
jelas wujudnya atau hanya lewat virtual. Tak terkecuali bagi pelajar dan mahasiswa.
Selalu ada kesulitan yang hadir dalam proses itu, maka dibutuhkan peran
pembantu dalam tanda kutip untuk membantu mereka bisa menyelesaikan tugasnya.
Di jaman sekarang orang-orang menyebutnya joki, atau lebih lengkapnya joki
tugas.
Joki tugas merupakan fenomena sosial yang
erat kaitanyya dengan anak muda. Bagaimana tidak, baik pengguna maupun penyedia
jasa ini berasal dari kalangan anak muda. Dalam sistemnya mereka membantu
mengerjakan tugas customer yang notabenenya mahasiswa atau pelajar untuk
diberi upah dengan harga yang sudah ditetapkan. Menaggapi fenomena tersebut
saya bertanya kepada empat narasumber dengan latar belakang berbeda. Satu
diantaranya adalah penyedia joki, satu diantaranya sebagai seseorang yang
sering menggunakan jasa joki tugas, dan dua diantaranya adalah orang yang tidak
pernah dan tidak tertarik untuk menggunakannya.
Orang pertama yang saya wawancarai adalah
penyedia joki tugas, Mendita. Ia mengaku sudah menggeluti perjokian ini sejak
tiga tahun yang lalu. Ia mempromosikan jasa ini lewat slebaran di media sosial
meskipun ia tahu ini merupakan hal yang rahasia. “Saya nyebarin pamflet di story
WhatsApp, ya mau gimana lagi, kalu enggak gitu orang orang enggak
tahu dong kalua saya bisa joki tugas.” Meski begitu ia mengatakan
menjamin 100% data customer nya akan aman dan dirahasiakam identitasnya.
Saat saya bertanya apakah ada tim khusus
untuk menangani setiap tugas berbeda dia mengatakan ada. “Ada tim khusus di
masing-masing bidang, kayak SD, SMP, SMA, kuliah, itu semua berbeda sehingga
hasil kerjanya bisa maksimal.”
Mendita juga menjelaskan harga tiap tugas
yang diserahkan kepadanya. Ia mematok harga mulai dari RP 50.000 hingga Rp
200.000 hal itu tergantung kesulitan dan permintaan dari customer. Ia
merincikan jika upah Rp 50.000 biasanya adalah tugas ringan seperti tugas
sekolah SMA sedangkan untuk harga Rp 200.000 biasaya sudah berbeda tingkatanya.
“Levelnya udah beda ya, kalau ngerjain tugas anak SMA itu biaya lebih
dikit karena kita sudah pernah mempelajarinya atau enggak jawaban sudah ada di
buku. Beda halnya dengan mahasiswa, tim harus mencari data yang akurat, mencari
jurnal online, dan lain-lain.”
Ia mengaku paling sering menerima
permintaan untuk mengerjakan tugas makalah, translate Bahasa Inggris
atau Mandarin. Ia mengaku dengan adanya joki tugas ini memudahkan teman-teman
yang punya keterbatasan waktu, kapasitas, dan lain-lain. “Sama bisa nambah uang
jajan juga, sih, muda-mudi kayak kita kan juga butuh jalan-jalan dan
jajan.”
Menurutnya penilaian orang-orang terhadap
apa yang ia kerjakan itu adalah hak mereka. “Kalau dilihat sebagai sisi
positif, peran saya adalah sebagai jembatan untuk mereka menyelesaikan
tugasnya. Selain itu, kita memberi kesempatan kepada mereka untuk mempelajari
dan menilai hasil tugas tersebut.”
Lain halnya dengan Astrid, mahasiswa
semester satu yang tidak pernah menggunakan ataupun tertarik dengan joki tugas.
Ia mengaku pertama kali tahu ada jasa ini saat ia duduk di bangku awal SMA. Ia
mengetahui ada salah satu teman yang menawarkan jasa tersebut ke teman lainnya.
“Waktu itu cuma mbatin aja sih, wah
parah banget.” ia menganggap itu sebagai kesempatan untuk memanfaatkan temannya
sebagai ladang cuan. “Sisi lain sih itu mempengaruhi kualitas SDM,
kecenderungan untuk malas-malasan dan
bergantung sama orang lain.”
Namun meski begitu, ia mengaku tidak bisa
langsung menjustifikasi karena belum mengetahui apa latar belakang yang
menyertainya. “Kalau saya, sih prefer jadi penjoki, lebih untung
karena dapet uang.”
Astrid menilai pengguna jasa joki tugas adalah
orang yang tidak bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Terhadap hal-hal
sesederhana mengerjakan tugas saja dia lalai.
“Aku lebih menghindari interaksi dengan
orang-orang kayak gitu ya, soalnya pasti dia beban. Pasti kalau dia
kebingungan, nyarinya kita-kita ini sebagai temannya.”
Sama halnya dengan Astred, narasumber
berikut ini menentang keras adanya perjokian tugas, Bibah namanya. Ia mengaku
mulai mengenal jasa joki tugas sejak duduk di bangku SMP, naming hingga sekarang
ia tak pernah tertarik untuk menggunakannya.
Ia menjelaskan percuma jika mendapat nilai
bagus tanpa value di dalamnya. Menurutnya akan sia-sia kalau hanya dapat
nilai bagus tapi tidak mengerti apa yang dikerjakan. “Jadi nggak relevan
anatara mendapat nilai bagus dengan mendapatkan ilmu.”
Berbeda dengan Bibah dan Astrid,
narasumber kali ini sudah sering menyewa jasa joki untuk mengerjakan tugasnya,
Sevril, mahasiswa semester satu di salah satu universutas negeri di Malang. Ia
mengaku pernah menyerahkan tugas menggambar sketsa wajah saat masih duduk di
bangku SMA. Alasannya karena ia tidak bisa menggambar.
Ia mengaku tidak sering menyewa jasa
tersebut, ia hanya akan menjoki saat tidak ada waktu dan banyak kerjaan. Tugas
yang sering ia serahkan kepada penjoki adalah tugas-tugas ringan. “Biasanya
tugas menggambar, membuat makalah, itu-itu aja, sih.”
Saya lanjut bertanya apakah tugas tersebut
diserahkan ke orang berbeda, Sevril menjawab ia menyerahkan tugas tersebut
tentu ke orang yang berbeda. Ia juga menambahkan “Kalau masalah biaya ya
contohnya menggambar itu dulu sampai Rp 60.000, kalau membuat makalah, sih
Rp 30.000.”
Tanggapan sevril sendiri mengenai
perjokian tugas adalah “Untuk kaum seperti saya yang tidak punya waktu, sih
sangat terbantu. Pada waktu itu saya juga nyambi kerja sehingga tidak bisa
membagi waktu.”
Menurutnya sah-sah saja menyerahkan tugas
keada penjoki karena alasan keterbatasan waktu. Ditanya sampai kapan ia akan
menyewa jasa ini, ia mengaku masih belum mengetahuinya. “Kalau sampai kapan, sih
nggak tahu, karena untuk saat ini saya masih membutuhkannya. Alasaanya karena deadline
yang diberikan dosen itu mepet belum lagi tugas lain yang juga perlu
diselesaikan.”
Comments
Post a Comment